HAKIKAT ‘AIN
Oleh: S. Kurniadi / Abu Rosul
‘Ain itu diambil dari kata ‘ana-Ya’inu (bahasa Arab) artinya apabila ia menatapnya dengan matanya. Asalnya dari kekaguman orang yang melihat sesuatu, kemudian diikuti oleh jiwanya yang keji, kemudian menggunakan tatapan matanya itu untuk menyampaikan racun jiwanya kepada orang yang dipandangnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya, Muahmmad shalallahu ‘alaihi wa sallam, untuk meminta perlindungan dari orang yang dengki.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan dari keburukan orang yang dengki ketika dengki.” (QS. Al-Falaq: 5)
Setiap orang yang menimpakan ‘ain adalah hasid (pendengki) dan tidak
setiap hasid adalah orang yang bisa menimpakan ‘ain. Karena hasid itu
lebih umum ketimbang orang yang bisa menimpakan ‘ain, maka meminta
perlindungan dari hasid berarti meminta perlindungan dari orang yang
bisa menimpakan ‘ain. Yaitu panah yang keluar dari jiwa hasid dan pelaku
‘ain yang tertuju pada orang yang didengki (mahsud atau ma’in), yang
adakalanya menimpanya dan adakalanya tidak mengenainya. Jika ‘ain itu
kebetulan menimpa orang yang dalam keadaan terbuka tanpa pelingdung,
maka itu berpengaruh pada orang tersebut. Sebaliknya, bila ia menimpa
orang yang waspada dan bersenjata, maka panah itu tidak berhasil
mengenainya, tidak berpengaruh padanya. Bahkan barangkali panah itu
kembali kepada pemiliknya.
(diringkas dari Zad al-Ma’ad).
ia mengatakan,
“Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya supaya meminta diruqyah dari ‘ain.”
Muslim, Ahmad dan At-Tirmidzi; ia menshahihkannya,
Dari Ibnu Abbas dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,
“‘Ain adalah nyata, dan seandainya ada sesuatu yang mendahului takdir, niscaya ‘ainlah yang mendahuluinya. Jika kalian diminta untuk mandi, maka mandilah.”
“‘Ain adalah nyata, dan seandainya ada sesuatu yang mendahului takdir, niscaya ‘ainlah yang mendahuluinya. Jika kalian diminta untuk mandi, maka mandilah.”
Diriwayatkan Imam Ahmad dan At-Tirmidzi, ia
menshahihkannya,
dari Asma binti Umais bahwa ia mengatakan,”Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Bani Ja’far tertimpa ‘ain; apakah aku boleh
meminta ruqyah untuk mereka?” Beliau menjawab, “Ya, seandainya ada
sesuatu yang mendahului takdir niscaya ‘ainlah yang mendahuluinya.”
Abu Daud meriwayatkan dari Aisyah, ia mengatakan,
“Orang yang menimpakan ‘ain diperintahkan supaya berwudhu, kemudian orang yang tertimpa ‘ain diperintahkan mandi.”
“Orang yang menimpakan ‘ain diperintahkan supaya berwudhu, kemudian orang yang tertimpa ‘ain diperintahkan mandi.”
Imam Ahmad, Malik, An-Nasa’i, dan Ibnu Hibban, meriwayatkan dari Sahl bin Hanif,
“Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam keluar bersama
orang-orang yang berjalan bersamanya menuju Mekah, hingga ketika sampai
di daerah Khazzar dari Juhfah, Sahl bin Hanif mandi. Ia adalah seorang
yang berkulit putih serta elok tubuh dan kulitnya. Lalu Amir bin
Rabi’ah, saudara Bani Adi bin Ka’b melihatnya, dalam keadaan sedang
mandi, seraya mengatakan, ‘Aku belum pernah melihat seperti hari ini
kulit yang disembunyikan.’ Maka Sahl pingsan.
Lalu ia dibawa kepada Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam
lantas dikatakan kepada beliau, ‘Wahai
Rasulullah, mengapa Sahl begini. Demi Allah, ia tidak mengangkat
kepalanya dan tidak pula siuman.’
Beliau bertanya, ‘Apakah kalian
mendakwa seseorang mengenainya?’
Mereka menjawab, ‘Amir bin Rabi’ah
telah memandangnya.’
Maka beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam memanggil
Amir dan memarahinya, seraya bersabda, ‘Mengapa salah seorang dari
kalian ‘membunuh’ saudaranya. Mengapa ketika kamu melihat sesuatu yang
mengagumkanmu, kamu tidak mendoakan keberkahan (untuknya)?’
kemudian
beliau bersabda kepadanya, ‘Mandilah untuknya.’ Lalu ia membasuh
wajahnya,
kedua tangannya dan kedua sikunya, kedua lututnya, dan ujung
kedua kakinya, dan bagian dalam sarungnya dalam satu bejana.
Kemudian
air itu diguyurkan di atasnya, yang diguyurkan oleh seseorang di atas
kepalanya dan punggungnya dari belakang. Ia meletakkan bejana di
belakangnya.
Setelah melakukan demikian, Sahl terbangun bersama
orang-orang tanpa merasakan sakit lagi,”
Jumhur ulama menetapkan
bahwa ‘ain itu bisa menimpa seseorang, berdasarkan hadis-hadis yang
telah disebutkan dan selainnya, karena bisa disaksikan dan fakta. Adapun
hadis yang Anda sebutkan, “Sepertiga manusia yang berada dalam kubur
mati karena ‘ain,” maka kami tidak mengetahui keshahihannya. Tetapi
penulis Nail al-Authar -Imam Syaukani- menyebutkan bahwa Al-Bazzar
mengeluarkan dengan sanad hasan dari Jabir dari Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda,
“Kebanyakan orang yang mati dari umatku, setelah qadha Allah dan qadar-Nya, karena anfus.” Yakni, karena ‘ain.
Kewajiban atas setiap muslim ialah membentengi dirinya dari setan dan
dari kejahatan jin dan manusia, dengan kekuatan iman kepada Allah,
ketergantungan dan tawakalnya kepada-Nya,
berlindung dan tadharru’
(merendahkan diri) kepada-Nya, ta’awwudz nabawiyah,
serta banyak membaca
mu’awwidzatain (An-Nas dan Al-Falaq),
surat Al-Ikhlas, surat
Al-Fatihah, dan ayat Kursi. Di antara ta’awwudz ialah:
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَامَّةِ مِنْ شَرِ مَا خَلَق
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa yang diciptakan-Nya.”
dan bisa juga dengan
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari
murka-Nya dan siksa-Nya, dari keburukan hamba-hamba-Nya, dan dari
bisikan-bisikan setan bila mereka datang.”
Juga firman Allah,
حَسْبِيَ اللهُ لآَإِلَهَ إِلاَّهُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
“Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku
bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiiki ‘Arsy yang agung.” (QS.
At-Taubah: 129).
* Seperti yang beliau tulis dalam wal FB nya, blogger hanya membenahi tata letak nya saja, dengan maksud agar lebih nyaman dibaca saja Wallau a'lam...